Promo FBS
FBS Reliable Broker
NasionalOpiniTanjungpinang

Angka Kemiskinan Turun, Tapi Apakah Kita Benar-Benar Sejahtera?

898
×

Angka Kemiskinan Turun, Tapi Apakah Kita Benar-Benar Sejahtera?

Sebarkan artikel ini
Tafan Juristian Putra

Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data kemiskinan per Maret 2025. Persentase penduduk miskin tercatat 8,47 persen, turun dari 8,57 persen pada September 2024. Artinya, jumlah penduduk miskin Indonesia kini berada di kisaran 23,85 juta orang, berkurang sekitar 210 ribu orang dalam enam bulan terakhir. Bahkan, angka kemiskinan ekstrem juga menurun menjadi 0,85 persen atau sekitar 2,38 juta jiwa.

Sekilas, capaian ini patut diapresiasi. Sebagai bangsa, kita memang harus bersyukur bila semakin sedikit masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Apalagi tren penurunan ini konsisten sejak pandemi 2020 lalu.

Namun, apakah penurunan angka kemiskinan ini benar-benar mencerminkan meningkatnya kesejahteraan masyarakat?

Potret yang Tak Boleh Dilupakan

Jika ditelusuri lebih dalam, data BPS juga mencatat fakta lain: kemiskinan di perkotaan justru naik dari 6,66 persen menjadi 6,73 persen. Artinya, warga miskin di kota semakin banyak. Kenaikan ini terjadi di tengah biaya hidup kota yang terus meningkat, ditambah gelombang PHK di sektor industri, ritel, hingga startup digital.

Di sisi lain, penurunan kemiskinan lebih banyak terjadi di wilayah perdesaan, yang pada Maret 2025 turun dari 11,34 persen menjadi 11,03 persen. Faktor bantuan sosial, program padat karya, hingga stabilnya harga komoditas pertanian diyakini menjadi penyumbang penurunan tersebut.

Di Balik Metodologi

Perlu dipahami, ukuran “miskin” versi BPS didasarkan pada garis kemiskinan sekitar Rp600 ribu per kapita per bulan. Artinya, bila seseorang berpenghasilan sedikit di atas angka itu, ia tidak lagi dikategorikan miskin.

Pertanyaannya, apakah Rp600 ribu cukup untuk hidup layak di kota besar? Di Tanjungpinang, Batam, Jakarta, atau Surabaya, jumlah tersebut bahkan tidak cukup untuk membayar kos sederhana, apalagi kebutuhan makan, transportasi, dan kesehatan.

Inilah yang membuat sejumlah ekonom menilai bahwa angka kemiskinan memang menurun secara statistik, tetapi kerentanan ekonomi masyarakat tetap tinggi. Banyak keluarga yang hidup “hampir miskin”, dan bisa jatuh miskin kapan saja bila terkena PHK atau harga pangan naik.

Apa yang Harus Dilakukan?

Sebagai seseorang yang bekerja berbasis data, saya melihat bahwa data BPS penting, tapi harus dibaca secara kritis. Penurunan angka kemiskinan adalah kemajuan, tetapi tidak boleh meninabobokan kita. Pemerintah daerah maupun pusat perlu memperbarui standar garis kemiskinan agar lebih mencerminkan biaya hidup riil.

Selain itu, fokus kebijakan harus diarahkan pada:

  • Menciptakan lapangan kerja baru di perkotaan agar warga tidak terjebak dalam pengangguran dan kerja informal.
  • Memperkuat jaring pengaman sosial supaya kelompok rentan tidak jatuh kembali ke jurang kemiskinan.
  • Mengendalikan harga pangan pokok, karena kebutuhan makan tetap menjadi penentu terbesar kesejahteraan rakyat.

Data boleh menunjukkan angka menurun, tetapi wajah kemiskinan masih nyata di sekitar kita. Mari kita jadikan data bukan sekadar angka, melainkan bahan refleksi untuk memastikan bahwa setiap warga benar-benar merasakan kesejahteraan.

Comment