Lingga, SuaraKepri.com – Hampir tidak pernah tersentuh oleh berita sensasional Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Lingga (STIT-LG) Kecamatan Singkep, Kabupaten Lingga, sejak dibuka tanggal 1 Februari 2016 silam, ternyata kampus Islam satu satunya di BunSTIT-LGda Tanah Melayu ini menyimpan persoalannya sendiri, Sabtu (03/09/22).
Sekolah yang sudah banyak melahirkan pelajar-pelajar hebat, total dari 6 tahun berdiri 51 mahasiswa/i strata 1 di tahun 2021 yang laku berhasil di wisudakan, namun dari segala prestasi dan pencapaian yang sudah dilakukan itu.
Ada beberapa pertanyaan, kejanggalan bahkan kekawatiran mahasiwa/mahasiswi terhadap sistem kampus yang saat ini sedang berjalan terkesan di tutup-tutupi atau disembunyikan dari telinga mahasiswa.
Hal itu dibenarkan oleh salah satu mahasiswa yang engan nama nya di sebutkan, melalui wawancara itu, ia mengatakan jika pihak kampus selama ini sangat memberatkan mahasiswa dari segi keuangan.
“Kita lihat dari awal berdirinya sekolah tinggi Ilmu Tarbiyah Lingga, mulai dari tahun 2016 silam pihak kampus sudah memberatkan mahasiswanya dalam segi pembayaran, diluar uang kuliah tunggal (UKT) yang bervariasi tiap tahunya,” kata mahasiswa tersebut kepada SuaraKepri.com.
Ia menjelaskan, mahasiswa sebenarnya tidak keberatan dengan iuran yang di bebani kepada mereka (UKT), namun mereka keberatan jika dana yang dibebani tersebut disalah gunakan.
“Kita tidak permasalahkan UKT tersebut namun yang kita sayangkan adalah uang yang di sisihkan oleh mahahasiswa sebesar Rp 500.000 untuk pembangunan hingga hari ini tidak jelas peruntukannya, sementara uang pembangunan tersebut sudah berjalan kurang lebih tujuh tahun yang di bayar sekali selama duduk di bangku perkuliahan,” jelasnya.
Disamping itu, terkuat fakta selama 6 tahun berdiri di Kabupaten Lingga, STIT-LG tidak memiliki gedung kampus sendiri, bahkan selama periode itu pula mahasiswa dan mahasiswi STIT-LG belajar harus menumpang di gedung atau sekolah Madrasah Aliyah.
Tentu hal ini menimbulkan spekulasi dan dugaan dugaan liar baik itu dari mahasiswa maupun orang tua didik, sebab jika dihitung satu kepala memberikan Rp. 500.000 jika di kali saja dengan 300 mahasiswa/i tandanya kampus memperoleh dana sebesar Rp.150.000.000 juta.
Bahkan tidak hanya itu, menurut mahasiswa tersebut, ketika mahasiswa menjejaki semester 7, yang aturannya mahasiswa harus menjalani tugas kuliah yaitu PPL-KKN, kembali mahasiwa ini harus di beratkan lagi dengan uang PPL/KKN sebesar 3 juta rupiah per-mahasiswa, namun tampa transaparansi dana itu di peruntukkan untuk kegiatan apa?
“Kemudian seminar proposal (sempro) mahasiswa kembali di mintai uang sebesar 3 juta untuk bisa mengikuti sesi sidang proposal yang juga tidak di berikan penjelasan terkait akan di gunakan untuk apa saja uang itu. Berlanjut ke sidang skripsi lagi-lagi mahasiwa harus kembali menyetor uang sebesar 2,5 juta agar bisa mengikuti prosesi sidang skripsi dan kalau kita ingin lebih terbuka lagi bahwa tak hanya itu saja, bahkan menuju wisuda sekali pun mahasiswa harus menyiapkan uang yang besar untuk bisa mendapatkan gelar sarjana di perguruan tinggi tersebut,” ujarnya.
Jika merunut kepada undang-undang pendidikan tinggi nomor 12 tahun 2012 tentang satu bentuk akuntabilitas dan transparansi tersebut adalah Perguruan Tinggi (PT) harus melaporkan kegiatan kampus baik akademik maupun non akademik.
“Bila perguruan tinggi transparan dan akuntabel sudah otomatis penyelenggaran pendidikan menjadi lebih baik dan bermutu. Namun menurut mahasiswa, semangat transparansi dan akuntabilitas ini belum sepenuhnya terlihat di sekolah tinggi ilmu Tarbiyah Lingga,” sebutnya.
Sementara itu, Ia berharap kepada seluruh mahasiwa di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Lingga, sadar akan hal tersebut dan meminta kepada mahasiwa untuk bersatu melalukan pergerakan demi tegakknya keadilan di lingkungan kampus.
“Perlu ada suatu gerakan yang nyata oleh mahasiwa itu sendiri untuk menyikap tabir ini, dan tentu perlu keberanian yang besar untuk mengungkap semuanya agar terang benderang, sehingga apa yang menjadi keresahan selama ini bisa terungkap, Ia menambahkan agar masyarakat, pemerintah daerah dan dinas serta aph dapat bersama-sama mengawal masalah ini hingga selesai,” pungkasnya.
Diketahui, jika mengutip pernyataan Kepala Ombudsman Makkasar hampir semua perguruan tinggi menjadi tempat maladministrasi. Mahasiswa beberapakali dibebani pembayaran di luar apa yang telah ditetapkan kampus. Sehingga membuat mahasiswa menganggap kampus mahal.
“Di perguruan tinggi katanya murah tapi mahal juga karena biaya-biaya masih dibebankan kepada mahasiswa,” kata Ketua Ombudsman Makassar, Khudri Arsyad saat ditemui Profesi di kantornya, Kamis (24/11).
Pihak STIT-LG, belum mau memberikan klarifikasi terkait hal ini.
Comment