Example floating
Example floating
Tanjungpinang

Keterwakilan Perempuan Dipertanyakan: Sidang PTUN Memanas, Partai Pemenang Terancam Diskualifikasi

2169
×

Keterwakilan Perempuan Dipertanyakan: Sidang PTUN Memanas, Partai Pemenang Terancam Diskualifikasi

Sebarkan artikel ini
Kuasa Hukum Penggugat saat usai sidang di PTUN Tanjungpinang, Selasa (27/08/2024). /F: Thafan Casper

Tanjungpinang, suarakepri.com- Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Tanjung Pinang menggelar sidang perlawanan terhadap penetapan dismissal gugatan Tarmizi dkk pada Selasa (27/8/2024). Sidang dengan agenda pembuktian ini diwarnai perdebatan sengit antara kuasa hukum Pelawan/Penggugat dan Terlawan/Tergugat.

Dedy Suryadi, S.H., M.H kuasa hukum Penggugat yang juga menjabat sebagai Sekretaris DPD Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) Kepulauan Riau dan Direktur Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Kepulauan Riau periode 2012-2024, menghadirkan tiga orang saksi perempuan. Dua di antaranya adalah calon anggota legislatif di Daerah Pemilihan Bintan 3 untuk Pemilu 2024, sementara satu lainnya merupakan aktivis dan pemilih di daerah tersebut.

“Para saksi merasa dirugikan karena ada partai yang mendapat suara terbanyak di Daerah Pemilihan Bintan 3 namun tidak memenuhi syarat minimal 30% keterwakilan perempuan,” jelas Dedy.

Pada saat persidangan, pihak Tergugat menolak kehadiran saksi, sehingga mengakibatkan mereka tidak diperbolehkan mengajukan pertanyaan kepada saksi.

Dr. Parningotan Malau, S.T., S.H., M.H., kuasa hukum Penggugat lainnya yang juga merupakan Dosen Pascasarjana Universitas Riau Kepulauan (UNRIKA), Ketua DPD MAHUPIKI Kepulauan Riau, dan Presiden Kepri Lawyer Club, mengkritisi proses sidang dismissal sebelumnya.

“Hakim langsung menyatakan gugatan bukan objek TUN tanpa mendengarkan argumentasi hukum para pihak terlebih dahulu,” ujarnya.

Parningotan menegaskan bahwa keterwakilan perempuan dalam UU Pemilu bersifat wajib. “Tidak ada aturan yang dapat mengesampingkan ketentuan minimal 30% keterwakilan perempuan dari setiap partai peserta Pemilu,” tegasnya.

Lebih lanjut, Parningotan mengemukakan teori hukum untuk memperkuat argumennya. “Menurut Van Bemmelen dan Van Hammel, yang kemudian dijelaskan kembali oleh Prof. Satjipto Rahardjo, semua aturan hukum memerlukan interpretasi. Tugas penting hakim adalah menemukan hukum (rechts finding),” jelasnya.

Ia juga merujuk pada Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim dilarang menolak perkara dengan alasan tidak ada hukum atau tidak jelas hukumnya. “Artinya, hakim harus kreatif dan responsif dalam menemukan hukum, sesuai dengan asas ius curia novit,” tambahnya.

Menanggapi argumentasi kedua belah pihak, majelis hakim meminta waktu dua minggu untuk menyiapkan putusan. Sidang akan dilanjutkan pada Selasa (10/9/2024).

Kasus ini menjadi sorotan publik karena menyangkut implementasi keterwakilan perempuan dalam politik, sebuah isu krusial dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender di ranah politik Indonesia. Jika gugatan ini dikabulkan, ada kemungkinan partai pemenang di Daerah Pemilihan Bintan 3 akan menghadapi sanksi, bahkan berpotensi didiskualifikasi dari hasil Pemilu 2024.

Comment